lt;script data-ad-client="ca-pub-8488281881136149" async src="https://pagead2.googlesyndication.com/pagead/js/adsbygoogle.js">Islam itu indah: makna syahadat ( bersaksi ) dan mati syahid

Rabu, 14 Desember 2011

makna syahadat ( bersaksi ) dan mati syahid

Bila diteliti maka kata syahadah, syahid, musyahadah, atau syuhada’ berasal dari akar kata yang sama
Syahadah berarti bersaksi, musyahadah berarti sedang menyaksikan ( bersaksi ), syahid serta syuhada juga bersaksi.



Maka jika syahadat tauhid berbunyi :
Asyhadu an laa ilaha illa Allah ( saya bersaksi bahwa tiada tuhan selain Allah )

Konsekwensi dari saksi adalah harus mengetahui yang disaksikan, atau mengetahui dengan detil,sehingga jika ada pertanyaan mengenai yang disaksikan akan dapat menjwab secara benar, apabila tidak bisa menjawab berarti disebut “saksi palsu”.

Ketika kita sampai pada kesimpulan bahwa kita telah berani “bersaksi” maka logikanya kita telah yakin dan percaya dengan sepenuh hati, untuk mencapai keyakinan dan percaya dengan sepenuh hati itu maka sebelumnya kita harus mengenal pada apa dan siapa kita bersaksi.

Maka urutannya adalah mengenal Allah ( segala af’al asma’, sifat dan dzat/sirri ), kemudian yakin dengan sepenuh hati akan sifat dan wujud Allah, baru kemudian bersaksi bahwa tiada tuhan selain Allah.

Bersaksi ( bersyahadat ) itu bukan membaca redaksi persaksian atau membaca syahadat.
Karena bersaksi itu lebih ditekankan pada apa yang kita saksikan, yaitu mengenal, mengerti dan paham tentang sesuatu yang kita saksikan.

Di Al-Qur’an 7 : 172
ketika Allah mengambil persaksian dari jiwa-jiwa manusia, kata yang dipakai adalah ‘Asyhadahum ala anfusihim’, mengambil persaksian atas jiwa-jiwa mereka.
‘alastu birabbikum ( Apakah Aku ini Tuhanmu ) ?
Dan jiwa-jiwa tersebut menjawab, ‘Qaalu, bala syahidna,” benar, sesungguhnya kami bersaksi.

Itulah sebabnya musyahadah itu disebut dzikir ruh, karena yang bersaksi adalah ruh

Q.S. Al-Hadiid ayat 19,
“Dan orang-orang yang beriman kepada Allah dan Rasulnya, mereka itu orang-orang Shiddiqiin dan ‘syuhada inda Rabbihim’ (menjadi saksi di sisi rabb mereka), bagi mereka pahala dan cahaya mereka…”

Sedangkan orang yang telah dapat menyaksikan kebenaran ilahiyah maka disebut Musyahadah ( menyaksikan / memandang dengan keyakinan atau haqqul bashirah ) maka orang seperti ini selalu hudrullah ( berada dihadirat Allah ), sehingga dikatakan orang tersebut dzikir mudawamah ( dzikir secara terus – menerus ) dan juga sholat terus – menerus tanpa mengenal waktu dan tempat yang disebut ( sholat daim ).


Al hikam ( syeikh ibnu athaillah )

Syu’aaul bashiirati yusy hiduka qurbahu minka wa’ainul bashiirati tusyhiduka ‘adamaka liwujuudihi wa haqqul bashiirati yusyhiduka wujuudahu laa ‘adamaka walaa wujuudaka

( Sinaran al-bashirah (yakni cahaya dari penglihatan mata hati) mempersaksikan kepadamu akan kedekatanNya denganmu. Dan esensi al-bashirah (yakni penglihatan mata hati itu sendiri) mempersaksikan kepadamu akan ketidakwujudanmu kerana kewujudanNya.
Dan Haqq al-bashirah (yakni kebenaran dari penglihatan matahati itu pula) mempersaksikan kepadamu akan kewujudanNya[semata-mata], bukan ketidakwujudanmu dan bukan juga kewujudanmu. )

Mereka adalah orang – orang yang telah berhasil menundukkan nafsu mereka dalam medan peperangan paling besar ( jihad akbar ) yaitu jihatun nafs jihad melawan hawa nafsu sampai kematian mendatangai mereka.

Makna mati syahid
Makna mati syahid sebagai syuhada sering disalah artikan orang hanya dengan berjuang mengangkat senjata dimedan perang membela agama Allah, padahal bukan hanya seperti itu.

Padahal kalau melihat akar katanya Syahid atau syuhada itu artinya juga bersaksi artinya orang yang dianugrahi penyaksian akan kebenaran al haq.

Nabi SAW bersabda:

:“Barangsiapa yang memohon kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dengan benar untuk mati syahid, maka Allah Subhanahu wa Ta’ala akan memberikan kedudukan sebagai syuhada meskipun ia meninggal di atas tempat tidurnya”.
(Hadits Riwayat Tirmidzi, Nasa’i, Ibnu Majah, Ibnu Hibban dalam shahihnya,
Al-Hakim dan ia menshahihkannya).

Nabi SAW juga bersabda :
“ Kebanyakan orang yang mati syahid dari umatku adalah pemilik alas tidur, dan banyak orang yang terbunuh diantara dua barisan perang itu, maka Allah maha mengetahui dengan niat mereka “
( Hadits riwayat Imam Ahmad, dari hadits Ibnu mas’ud )

Maka makna mati syahid menurut hadit Nabi SAW diatas bukan hanya perang mengangkat senjata, karena pada saat sekarang kondisinya sudah beda, sedangkan kondisi di zaman Rasulullah memang diperlukan itu.

Artinya seperti saya jelaskan diatas perang yang sesungguhnya adalah perang melawan nafsu kita sendiri yang merupakan peperangan paling dashyat, sehingga disebutkan oleh Nabi SAW, bahwa yang mati syahid kebanyakan dari umatnya adalah pemilik alas tidur, dengan penyaksian ( musyahadah ) kepada Al haq, sampai al maut datang kepada mereka, lalu mereka ridla dan pergi menghadap tuhanya dengan diridlai

Yaa Ayatuhan nafsum muthmainnah ‘irji’i ilaa rabbiki raadliyatam mardliyah…
( wahai jiwa yang tenang, pergilah menghadap tuhanmu dengan ridla dan diridlai )

Keadaan tenang ini menggambarkan maqam ma’rifah yang telah dicapai oleh orang yang musyahadah.

Syattaa na bayna man yastadillu bihi au yastadillu ‘alahi almustadillu bihi ‘arafal haqqa li ahlihi fatsbatal amra min wujuudi ashlihi wal istidlaalu ‘alaihi min ‘adamil wushuuli ilahi wa illaa famata ghaa ba hatta yustadalla ‘alaihi ? wamata ba’uda hatta takuuna aatsaaru hiyal latii tuushilu ilahi


[Alangkah amat besarnya] perbedaan di antara orang yang berdalil denganNya dengan orang yang berdalil ke atasNya. Orang yang berdalil denganNya (yakni orang yang mengambil kewujudan Allah sebagai dalil bagi kewujudan alam) telah mengenali kebenaran pada ahlinya. Maka dia pun menetapkan urusan itu daripada kewujudan asalnya.
Dan pengambilan dalil ke atasNya pula (yakni mengambil kewujudan alam sebagai dalil bagi kewujudan Allah) adalah [berpuncak] daripada ketiadaan sampai kepadaNya (yakni sampai kepada ma‘rifah yang lebih sempurna mengenaiNya).

Dan jikalau tiadalah yang demikian, bilakah masanya Dia telah ghaib sehingga [diperlukan kepada kita] berdalil ke atasNya?
Dan [jikalau tiadalah yang demikian], bilakah masanya Dia itu jauh sehingga al-Atsar (kesan-kesan, yakni seluruh makhluk di alam semesta) pula dijadikan [sebagai alat] untuk menyampaikan [kita] kepadaNya? “Kaifa yutashawwaru an yahjubahu syaiun wahuwalladzi adh hara kulla syai in“

( bagaimana bisa siapa membayangkan bahwa ada sesuatu yang menghijabkanNya, sedangkan Dialah yang mendhohirkan setiap sesuatu )


“Kaifa yutashawwaru anyahjubahu syaiun wahuwalladzi dhahara bi kulli syai in“
( bagaimana bisa siapa membayangkan bahwa ada sesuatu yang menghijabkanNya, sedangkan Dialah yang terdhohir dengan setiap sesuatu )


“ Kaifa yutashawwaru an yahjubahu syaiun wahuwalladzi dhahara fi kulli syai in“
( bagaimana bisa siapa membayangkan bahwa ada sesuatu yang menghijabkanNya, sedangkan Dialah yang terdhohir didalam setiap sesuatu )


“ Kaifa yutashawwaru an yahjubahu syaiun wahuwalladzi dhahara li kulli syai in “
( bagaimana bisa siapa membayangkan bahwa ada sesuatu yang menghijabkanNya, sedangkan Dialah yang terdhohir bagi setiap sesuatu )

“ Kaifa yutashawwaru an yahjubahu syaiun wahuwadhaahiru qabla wujuudi kulli syai in “
( bagaimana bisa siapa membayangkan bahwa ada sesuatu yang menghijabkanNya, sedangkan Dialah yang maha Dhohir sebelum wujud sesuatu )


“ Kaifa yutashawwaru an yahjubahu syaiun wahuwa adh haru min kulli syai in “
( bagaimana bisa siapa membayangkan bahwa ada sesuatu yang menghijabkanNya, sedangkan Dialah yang paling dhohir daripada setiap sesuatu )

“ Kaifa yutashawwaru an yahjubahu syaiun wahuwal waahidulladzii laisa ma’ahu syai un”
( bagaimana bisa siapa membayangkan bahwa ada sesuatu yang menghijabkanNya, sedangkan Dialah yang satu yakni Maha Esa, yang tiada besertaNYa sesuatu )


“ Kaifa yutashawwaru an yahjubahu syaiun wahuwa aqrabu ilaika min kulli sya in “
( bagaimana bisa siapa membayangkan bahwa ada sesuatu yang menghijabkanNya, sedangkan Dialah yang lebih dekat kepadamu daripada setiap sesuatu )


“ Kaifa yutashawwaru an yahjubahu syaiun walau laa hu ma kaa na wujuudu kulli syai in”
( bagaimana bisa siapa membayangkan bahwa ada sesuatu yang menghijabkanNya, sedangkan jika bukanlah karenaNya tiadalah akan wujud setiap sesuatu )

“Ya ‘ajabaa kaifa yadh harul wujuudi fil ‘adami am kaifa yats butul haaditsu ma’a man lahu washfil qidama “
( Alangkah menakjubkan bagaimana kewujudan boleh terdhohir didalam ketidakwujudan / adam, atau bagaimana boleh menjadi masih tetap al haadits/ benda yang baru yakni makhluq, bersama Dia yang memiliki sifat Qidam/ yakni tiada bagiNya permulaan )

Tidak ada komentar:

Posting Komentar