lt;script data-ad-client="ca-pub-8488281881136149" async src="https://pagead2.googlesyndication.com/pagead/js/adsbygoogle.js">Islam itu indah: Layaknya sebatang pohon atau sebuah rumah yang membutuhkan akar yang kuat atau pondasi yang kokoh, seperti itulah fungsi aqidah yang mantap bagi ke-Islam-an kita. Aqidah adalah keyakinan tentang sesuatu yang mele-kat mantap dalam jiwa kita, yang bersumber pada pengeta-huan yang membenarkannya. Keyakinan inilah yang menjadi motor penggerak emosi, akhlaq dan amal kita. Enam rukun iman, yang sudah kita hapal selama ini, merupakan dasar dari aqidah kita. "Dari Umar Ibnul Khaththab r.a, bahwa Rasulullah bersabda: Iman itu ialah engkau beriman kepada Allah, kepada malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, rasul-rasul-Nya, dan kepadanya adanya hari akhir, dan beriman kepada qadar baik maupun buruknya."(HR. Muslim, Abu Daud, at -Tirmidzi dan an-Nasai). Iman yang pertama adalah iman kepada Allah. Untuk mengimani Allah dapat kita bagi menjadi beberapa tahap yaitu mengakui keberadaan Allah, mengenal Allah dan ketauhidan mengantar kepada mahabbatullah. Mengakui keberadaan Allah Walaupun penulis yakin bahwa para pembaca percaya akan adanya Allah, akan kami sampaikan dalil-dalil untuk me-ngenal adanya Allah, semoga dapat menguatkan aqidah kita. Ada 3 dalil pokok untuk membuktikan keberadaan Allah, yaitu: Dalil Al Qurán. Dalil ini merupakan dasar bagi dalil-dalil lainnya. Keber-adaan Allah tercanntum dalam firman-Nya: "Katakanlah: Dialah Allah Yang Maha Esa. Allah adalah Tuhan yang bergantung kepada-Nya segala sesuatu. Dia tiada beranak dan tiada pula diperanakkan. Dan tidak ada seorang pun yang setara dengan Dia." (Al Ikhlas:1-4). Dalil fithrah. Yaitu instink kemanusiaan yang membuat kita dapat ber-tahan hidup yang lebih kokoh dari ilmu dan kita miliki se-jak lahir. Fitrah ini muncul dari jiwa yang jernih dan hati yang lurus. Fitrah yang paling dasar adalah pengakuan a-danya Zat Allah Yang Maha Agung (Ar-Ruum:30). Fitrah ini dimiliki oleh semua manusia, bahkan orang yang me-ngaku atheis. Sejarah pernah membuktikan, Firáun pun menyeru kepada Allah ketika maut menjemput, seperti tercantum dalam firman Allah: ‘Dan apabila kamu ditimpa bahaya di lautan, niscaya hilanglah siapa yang kamu seru kecuali Dia."(al-Israa’:67) Dalil akal. Islam memerintahkan manusia untuk mencari hakikat ada-nya Allah dengan akalnya dalam mempelajari alam semes-ta (baca Al Baqarah: 164). Ada beberapa dalil akal yang dapat digunakan yaitu: Fenomena adanya alam semesta yang membutuhkan pencipta seperti firman Allah: "Apakah mereka dicip-takan tanpa sesuatupun, ataukah mereka mencip-takan (diri mereka sendiri)."(QS Ath Thuur:35) Fenomena keteraturan alam semesta, yang memerlu-kan Zat Yang Maha Tinggi untuk mnegaturnya (QS Al-Mulk :3) Hukum sababiyah, yaitu bahwa segala sesuatu di alam semesta ini memerlukan penyebab. Penyebab yang hakiki akan sampai pada Allah Yang maha Kuasa (QS An-Nur: 43-45) Ada baiknya kita perhatikan kisah ini. Suatu hari, seo-rang nenek kagum melihat seorang yang diikuti banyak murid. Dia bertanya siapa beliau. Dijawab, "Dialah Fakhrur Razi, sang alim yang menguasai seribu dalil akan adanya Allah."Dengan heran sang nenek berkomentar,"Seandainya ia tidak memiliki seribu keraguan tentunya ia tidak memerlukan seribu dalil…" Mendengar komentar itu Fakhrur Razi spontan ber-doa:"Ya Allah! Anugerahilah aku keyakinan seperti keyakinan sang nenek renta itu." Semoga kita dianugerahi keyakinan yang demikian. Mengenal Allah (Ma’rifatullah) Cara yang paling mudah untuk dapat mengenal Allah adfalah melalui asmaul husna dan sifat-sifat wajib Allah. Kita mengetahui ada 99 asmaul husna. Dari nama-nama Allah ter-sebut maka nama yang paling dasar adalah Maha Sempurna (al-Jalil). Allah adalah Zat Yang Maha Sempurna kebesaran-Nya, kekuasaan-Nya, kehendak-Nya, ilmu-Nya, kebijaksanaan-Nya, kasih sayang-Nya dan kemuliaan-Nya. Ke-Maha Sempurnaan Allah ini tidak mungkin ter-jangkau oleh akal pikiran manusia yang serba terbatas. Bah-kan 99 nama Allah tidaklah cukup untuk menggambarkan ke-Maha Sempurna-an Allah. Allah pun tidak membatasi nama-Nya, seperti dalam firman-Nya: "Hanya milik Allah asmaul husna, maka bermohonlah kepada Allah dengan menyebut asmaul husna itu, dan tinggalkanlah orang-orang yang menyimpang dari kebenaran dalam (menyebut) nama-nama-Nya. Nanti mereka akan mendapat balasan terhadap apa yang telah mereka kerjakan."(QS Al-A’raf: 180) Sedang sifat wajib Allah yang mendasar selain wujud (ada) adalah mukhalafatu lil hawadits (tak ada yang serupa dengan-Nya). Dari sifat ini diturunkan sifat wahdaniyah (esa), qidam (terdahulu), qudrah, iradah serta baqa’ (tak ada yang lebih akhir dari-Nya). Maka sesatlah orang yang menyamakan Allah dengan makhluk-Nya dengan mengatakan Allah serupa dengan manusia. Ketauhidan mengantar kepada mahabbatullah Tauhid merupakan dasar akidah kita kepada Allah, yang bersumber pada sifat wahdaniyah-Nya. Secara akal, ti-dak mungkin alam semesta ini diperintah olah lebih dari satu Zat Maha Agung. Tauhid kepada Allah, secara garis besar dibagi dua: Tauhid Rububiyah, yaitu hanya Allah pencipta dan pemelihara alam. "Demikian itu ialah Allah, Rabb kamu, tiada Rabb selain Dia, Pencipta segala sesuatu, maka sembahlah Dia, dan Dia adalah Pemelihara segala sesuatu"(Al An’aam : 102). Pemeliharaan disini berarti termasuk pemberi rizki (Fathir : 3). Tauhid Uluhiyah, yaitu hanya Allah yang berhak memerintah dan melarang (Fushshilat : 11), Dialah Ilah yang berhak membuat sya-riah dan menghukum (Al Qashash : 70). Hanya Dia yang berhak dituju dan disembah. "Sesungguhnya Aku ini adlah Allah, tidak ada Ilah (yang hak) selain Aku, maka sembah-lah aku dan dirikanlah sholat untuk mengingat Aku " (Tha-haa : 14) Setelah mengetahui hakikat tauhid, maka kita harus sadar bahwa hanya Allah yang harus kita cintai, melebihi segalanya (At Taubah : 24). Cinta ini menuntut pengorbanan kita, yang sekaligus menjadi konsekuensi dari ketauhidan kita kepada Allah. Alam semesta, termasuk manusia, adalah mahluk Allah dan milik-Nya, maka kita tidak mempunyai hak berbuat terhadap milik-Nya, kecuali sesuai dengan batas-batas dan izin-Nya. Allah mempunyai hak mutlak untuk membuat syariat, berupa hukum dan ketetapan. Dalam hal ini, kita dilarang membuat hukum yang bertentangan dengan syariatnya yang sempurna. "…barangsiapa yang tidak memutuskan menurut apa yang diturunkan oleh Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang kafir ". (Al Maidah : 44). Jadi kita dan seluruh mahluk Allah tidak lepas dari kewajiban untuk tunduk, taat, dan beribadah hanya kepada-Nya. Ibadah ini adalah ibadah dalam arti luas, bahwa segala amal perbuatan harus kita niatkan sebagai ibadah. Dalam hal ini, amal perbuatan yang baik. "(Orang orang yang berakal yaitu) orang orang yang mengingat Allah sambil berdiri atatu duduk atau dalam keadaan berbaring…" (Ali Imran : 191) Cinta pada sesama manusia, jika diniatkan cinta karena Allah, maka cinta itu merupakan usaha kita untuk mencintai Allah dan mengharap ridla-Nya. "Sesungguhnya (segala) amalan itu bergantung pada niatnya, dan setiap orang akan mendapatkan apa yang diniatinya. Barangsiapa yang hijrah karena Allah dan rasul-Nya , maka ia akan mendapatkan Allah dan rasul-Nya, dan barangsiapa yang hijrah karena keduniawian atau karena ingin menikah dengan seorang wanita (pria), maka sebatas itulah yang bakal dicapainya" (HR Bukhori, Muslim, Abu Daud dan Tirmizi)

Selasa, 20 Desember 2011

Layaknya sebatang pohon atau sebuah rumah yang membutuhkan akar yang kuat atau pondasi yang kokoh, seperti itulah fungsi aqidah yang mantap bagi ke-Islam-an kita. Aqidah adalah keyakinan tentang sesuatu yang mele-kat mantap dalam jiwa kita, yang bersumber pada pengeta-huan yang membenarkannya. Keyakinan inilah yang menjadi motor penggerak emosi, akhlaq dan amal kita. Enam rukun iman, yang sudah kita hapal selama ini, merupakan dasar dari aqidah kita. "Dari Umar Ibnul Khaththab r.a, bahwa Rasulullah bersabda: Iman itu ialah engkau beriman kepada Allah, kepada malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, rasul-rasul-Nya, dan kepadanya adanya hari akhir, dan beriman kepada qadar baik maupun buruknya."(HR. Muslim, Abu Daud, at -Tirmidzi dan an-Nasai). Iman yang pertama adalah iman kepada Allah. Untuk mengimani Allah dapat kita bagi menjadi beberapa tahap yaitu mengakui keberadaan Allah, mengenal Allah dan ketauhidan mengantar kepada mahabbatullah. Mengakui keberadaan Allah Walaupun penulis yakin bahwa para pembaca percaya akan adanya Allah, akan kami sampaikan dalil-dalil untuk me-ngenal adanya Allah, semoga dapat menguatkan aqidah kita. Ada 3 dalil pokok untuk membuktikan keberadaan Allah, yaitu: Dalil Al Qurán. Dalil ini merupakan dasar bagi dalil-dalil lainnya. Keber-adaan Allah tercanntum dalam firman-Nya: "Katakanlah: Dialah Allah Yang Maha Esa. Allah adalah Tuhan yang bergantung kepada-Nya segala sesuatu. Dia tiada beranak dan tiada pula diperanakkan. Dan tidak ada seorang pun yang setara dengan Dia." (Al Ikhlas:1-4). Dalil fithrah. Yaitu instink kemanusiaan yang membuat kita dapat ber-tahan hidup yang lebih kokoh dari ilmu dan kita miliki se-jak lahir. Fitrah ini muncul dari jiwa yang jernih dan hati yang lurus. Fitrah yang paling dasar adalah pengakuan a-danya Zat Allah Yang Maha Agung (Ar-Ruum:30). Fitrah ini dimiliki oleh semua manusia, bahkan orang yang me-ngaku atheis. Sejarah pernah membuktikan, Firáun pun menyeru kepada Allah ketika maut menjemput, seperti tercantum dalam firman Allah: ‘Dan apabila kamu ditimpa bahaya di lautan, niscaya hilanglah siapa yang kamu seru kecuali Dia."(al-Israa’:67) Dalil akal. Islam memerintahkan manusia untuk mencari hakikat ada-nya Allah dengan akalnya dalam mempelajari alam semes-ta (baca Al Baqarah: 164). Ada beberapa dalil akal yang dapat digunakan yaitu: Fenomena adanya alam semesta yang membutuhkan pencipta seperti firman Allah: "Apakah mereka dicip-takan tanpa sesuatupun, ataukah mereka mencip-takan (diri mereka sendiri)."(QS Ath Thuur:35) Fenomena keteraturan alam semesta, yang memerlu-kan Zat Yang Maha Tinggi untuk mnegaturnya (QS Al-Mulk :3) Hukum sababiyah, yaitu bahwa segala sesuatu di alam semesta ini memerlukan penyebab. Penyebab yang hakiki akan sampai pada Allah Yang maha Kuasa (QS An-Nur: 43-45) Ada baiknya kita perhatikan kisah ini. Suatu hari, seo-rang nenek kagum melihat seorang yang diikuti banyak murid. Dia bertanya siapa beliau. Dijawab, "Dialah Fakhrur Razi, sang alim yang menguasai seribu dalil akan adanya Allah."Dengan heran sang nenek berkomentar,"Seandainya ia tidak memiliki seribu keraguan tentunya ia tidak memerlukan seribu dalil…" Mendengar komentar itu Fakhrur Razi spontan ber-doa:"Ya Allah! Anugerahilah aku keyakinan seperti keyakinan sang nenek renta itu." Semoga kita dianugerahi keyakinan yang demikian. Mengenal Allah (Ma’rifatullah) Cara yang paling mudah untuk dapat mengenal Allah adfalah melalui asmaul husna dan sifat-sifat wajib Allah. Kita mengetahui ada 99 asmaul husna. Dari nama-nama Allah ter-sebut maka nama yang paling dasar adalah Maha Sempurna (al-Jalil). Allah adalah Zat Yang Maha Sempurna kebesaran-Nya, kekuasaan-Nya, kehendak-Nya, ilmu-Nya, kebijaksanaan-Nya, kasih sayang-Nya dan kemuliaan-Nya. Ke-Maha Sempurnaan Allah ini tidak mungkin ter-jangkau oleh akal pikiran manusia yang serba terbatas. Bah-kan 99 nama Allah tidaklah cukup untuk menggambarkan ke-Maha Sempurna-an Allah. Allah pun tidak membatasi nama-Nya, seperti dalam firman-Nya: "Hanya milik Allah asmaul husna, maka bermohonlah kepada Allah dengan menyebut asmaul husna itu, dan tinggalkanlah orang-orang yang menyimpang dari kebenaran dalam (menyebut) nama-nama-Nya. Nanti mereka akan mendapat balasan terhadap apa yang telah mereka kerjakan."(QS Al-A’raf: 180) Sedang sifat wajib Allah yang mendasar selain wujud (ada) adalah mukhalafatu lil hawadits (tak ada yang serupa dengan-Nya). Dari sifat ini diturunkan sifat wahdaniyah (esa), qidam (terdahulu), qudrah, iradah serta baqa’ (tak ada yang lebih akhir dari-Nya). Maka sesatlah orang yang menyamakan Allah dengan makhluk-Nya dengan mengatakan Allah serupa dengan manusia. Ketauhidan mengantar kepada mahabbatullah Tauhid merupakan dasar akidah kita kepada Allah, yang bersumber pada sifat wahdaniyah-Nya. Secara akal, ti-dak mungkin alam semesta ini diperintah olah lebih dari satu Zat Maha Agung. Tauhid kepada Allah, secara garis besar dibagi dua: Tauhid Rububiyah, yaitu hanya Allah pencipta dan pemelihara alam. "Demikian itu ialah Allah, Rabb kamu, tiada Rabb selain Dia, Pencipta segala sesuatu, maka sembahlah Dia, dan Dia adalah Pemelihara segala sesuatu"(Al An’aam : 102). Pemeliharaan disini berarti termasuk pemberi rizki (Fathir : 3). Tauhid Uluhiyah, yaitu hanya Allah yang berhak memerintah dan melarang (Fushshilat : 11), Dialah Ilah yang berhak membuat sya-riah dan menghukum (Al Qashash : 70). Hanya Dia yang berhak dituju dan disembah. "Sesungguhnya Aku ini adlah Allah, tidak ada Ilah (yang hak) selain Aku, maka sembah-lah aku dan dirikanlah sholat untuk mengingat Aku " (Tha-haa : 14) Setelah mengetahui hakikat tauhid, maka kita harus sadar bahwa hanya Allah yang harus kita cintai, melebihi segalanya (At Taubah : 24). Cinta ini menuntut pengorbanan kita, yang sekaligus menjadi konsekuensi dari ketauhidan kita kepada Allah. Alam semesta, termasuk manusia, adalah mahluk Allah dan milik-Nya, maka kita tidak mempunyai hak berbuat terhadap milik-Nya, kecuali sesuai dengan batas-batas dan izin-Nya. Allah mempunyai hak mutlak untuk membuat syariat, berupa hukum dan ketetapan. Dalam hal ini, kita dilarang membuat hukum yang bertentangan dengan syariatnya yang sempurna. "…barangsiapa yang tidak memutuskan menurut apa yang diturunkan oleh Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang kafir ". (Al Maidah : 44). Jadi kita dan seluruh mahluk Allah tidak lepas dari kewajiban untuk tunduk, taat, dan beribadah hanya kepada-Nya. Ibadah ini adalah ibadah dalam arti luas, bahwa segala amal perbuatan harus kita niatkan sebagai ibadah. Dalam hal ini, amal perbuatan yang baik. "(Orang orang yang berakal yaitu) orang orang yang mengingat Allah sambil berdiri atatu duduk atau dalam keadaan berbaring…" (Ali Imran : 191) Cinta pada sesama manusia, jika diniatkan cinta karena Allah, maka cinta itu merupakan usaha kita untuk mencintai Allah dan mengharap ridla-Nya. "Sesungguhnya (segala) amalan itu bergantung pada niatnya, dan setiap orang akan mendapatkan apa yang diniatinya. Barangsiapa yang hijrah karena Allah dan rasul-Nya , maka ia akan mendapatkan Allah dan rasul-Nya, dan barangsiapa yang hijrah karena keduniawian atau karena ingin menikah dengan seorang wanita (pria), maka sebatas itulah yang bakal dicapainya" (HR Bukhori, Muslim, Abu Daud dan Tirmizi)

Dalam mengenal hukum Islam, Ilmu Tauhid wajib diketahui oleh seluruh umat manusia yang telah menginjak taraf dan apabila sampai tidak mengtahuinya, menurut Iman Sanusi, hukumnya seperti bukan orang Islam (langsung digolongkan ahli neraka setelah kematiannya kelak).

Tahud sendiri dibagi menjadi dua bagian :

Tauhid Syar’i
Tauhid Hakiki

Tauhid Syar’i adalah mengenal Allah, dengan dalil-dalilnya. Sedangkan inti dari ” Tauhid Hakiki”, mengenal kebesaran Allah SWT, secara Tajalli (lepasnya jiwa antara yang tercipta dan yang menciptakan) baik lewat Asma, Sifat, Af’al dan Dzat Allah secara keseluruhan. Dari keluasan Ilmu Tauhid ini akhirnya menjadikan kita mengerti seputar derajat KeWalian yang terdapat pada manusia (Hamba) serta memahaminya kita terhadap arti Islam, Iman, Ihsan dan lainnya secara terperinci, luas dan bisirri, secara pandangan ilmu tauhid sebenarnya.Tahapan Ibadah



Disini terbagi menjadi dua bagian :

Ibadahnya orang awam
Ibadahnya Solihin Ma’rifat Billah

Yang dimaksud dengan ibadahnya orang awam, mereka wajib mengikuti syariat yang diajarkan oleh Rasulullah SAW, seperti yang terdapat pada rukun Islam, Yaitu, memegang makna syahadatain, wajib menjalankan sholat 5 waktu, wajib membayar zakat fitrah, wajib puasa di dalam bulan Ramadhan dan wajib berhaji bagi yang mampu. Secara makna tafsir, “memegang makna Musyahadah dalam segala tingkah laku lewat Morqobatu Nabi dan Muroqobatullah”. Sedangkan makna shalat, mempererat bathiniah dengan selalu mengingat keagungan Allah SWT (Do’a). Lalu makna zakat, memberi kebajikan secara terus menerus (bagi yang mampu) kepada yang membutuhkan (lainsyakartum la azidannakum) dengan satu pemahaman Musyahadah,”apapun rejeki yang kita punya tak lain semuanya milik Allah dan kita sebagai hamba sekedar mejalankan perintahNya”. Makna puasa dibulan Ramadhan adalah pencucian hati dan pikiran untuk berbuat baik dengan meningkatkan makna takwa kepada Allah SWT.

Ibadahnya Ahli Solihin Ma’rifatillah. Dimanapun mereka ditempatkan, niscaya hati dan pikirannya tidak berubah untuk selalu bermunajat dan mengingat kebesaran Allah SWT. Golongan ini disebut maqom Ahlillah atau Ahli Rosul yang hati dan pikirannya tidak mempunyai bersitan was-was, ragu maupun bimbang dalam segala persoalan hidup, sebab mereka tergolong “Muamalatul Qulub Awil Arwah / tidak melihat zaman, waktu dan tempat”. Maksud dari perkataan tadi, mereka lebih mengarahkan hati dan pikirannya hanya tertuju kepada Allah SWT, sehingga dalam kitab “Iqodzul Himam” dijelaskan sebagai berikut :

“Sesungguhnya satu waktu bagi maqom Ma’rifat Billah, sebanding dengan ibadahnya orang awam seumur hidup” atau dalam katalain, “Dua rokaat ibadahnya ahli Ma’rifatillah, sebanding dengan kebajikan’ Ibadahnya orang awam sepanjang masa”. Secara makna luas “Dimanapun mereka ditempatkan, maka tempat itu adalah Arofahnya dan setiap waktu baginya adalah Lailatul Qodarnya secara muthlak”. Sebelum kita pahami lebih luas makna tauhid sesungguhnya, ada baiknya mengenal dulu makna Ikhlas yang terbagi menjadi tiga bagian :

Ikhlas Khusussuk Khusus, yang artinya,”Ibadah murni karena Allah SWT seperti ibadahnya Maqom Kholil, Hub, Syareatul Khotam, dan maqom kesempurnaan lainnya”. Maqom ini mendahulukan makna takwa dengan menjaga sifat ke Tuhanan secara keseluruhan (Allah)
Ikhlas Ahlul Khusus, suatu tahapan ibadah yang masih mempunyai tujuan khususiah, seperti minta derajat, surga dan maqomat lainnya.
Ikhlas Ahlul Umum, Ibadah karena Allah, tapi masih punya pamrih, seperti, minta rejeki, pangkat, derajat dan lainnya (Ibadah Birroja’).

Pemulaan Yang Wajib Diketahui Orang Islam

Bagi keseluruhan kaum Muslimin / Muslimat, wajib memahami 3 bagian dasar .

Islam (menjaga tingkah laku)
Iman (menjaga makna yakin tanpa terbersit rasa keraguan)
Ihsan (melestarikan sifat kebajikan secara istikomah karena Allah)

Dari ketiga sifat ini semuanya saling berkesinambungan satu dengan lainnya, sebab Iman tanpa didasari Islam, Kurang sempurna dalam mengenal keyakinan kepada Allah dan RasulNya, juga Iman tanpa didasari pemahaman Ihsan pada akhirnya kurang berkualitas (tidak bisa naik). Iman dalam pandangan Al-Qur’an adalah menjaga segala tingkah laku sesuai anjurannya atau dalam kata lain ,” Keyakinan yang disertai tingkah laku”, Maksud dari pembedaran tadi,”Menjaga tingkah laku dari makna maksiat dan menusatkan hati serta pikiran kita dengan selalu memohon ampunanNya”. Bila sudah mengikuti aturan ini, makna orang tadi sudah tergolong maqom Mahfud, yang selalu mengistiqomahkan makna kebajikan hingga menjadi Nur (yang dijaga oleh Allah) dan maqom ini tergolong Ahlillah atau maqom Ihsan.

Sedangkan “Ihsan” secara rinci terbagi menjadi dua bagian.

Muhasabah (Muroqobatul Ahwal),”Kebajikan yang dilestarikan dan menjaga sifat atau tingkah laku kita dengan dilandasi hukum syar’i secara sempurna”. Cara seperti ini disebut (Ihsan yang masuk pada makna Islam).
Muroqobah,”Kebajikan yang dilestarikan dengan cara beristiqomah, karena seakan-akan kita melihat Allah, atau meyakini bahwa Allah melihat kita, seperti memudawamkan asma Allah secara tartibul lisan dan menjaga tingkah laku dari maksiat, serta melestarikan kebaikan secara terus menerus”. Cara seperti ini disebut (Ihsan yang masuk pada makna Iman).

Dalam pandangan lain, penyatuan antara Ihsan, Iman, apabila sudah bisa dilaksanakan maka disebut “Fima Akomahullah” / menseleksi tingkah laku atau tetap menjaga kebajikan iman yang sudah kita pelihara. Dari dua sifat tadi apabila kita mampu melaksanakannya secara istiqomah, maka timbul suatu karomah atau derajat Wilayah yang mempunyai sifat “Kun Fayakun” sebagai maqom teragung menjadi Waliyullah Kamil (Maqom Qurbah). Tahapan ini sudah bisa dikategorikan sebagai seorang Waliyullah, yang mengerti antara satu Wali dengan Wali lainnya. Sebab siapapun yang sudah memegang peranan ini niscaya dengan keagungan dan janji Allah SWT, mereka tergolong orang yang diberikan kekuatan penglihatan (Basyarotul ‘Ain dan Basyatul Qolbi) serta ke i’tidalan hati dalam segala pandangan lahir maupun mata bathin. Namun untuk bisa mencapainya, diwajibkan menjaga kezuhudan dan ketaatan kita kepada Allah SWT “Fima Aqomahullah / dimanapun kita berdiam diri, maka disitu pula tingkah laku, hati dan pikiran kita selalu ingat Allah SWT”. Sebagai tambahan, Ihsan yang berhubungan dengan makna “Muroqobah” dibagi menjadi dua tingkatan :

Maqom Syuhud
Maqom Muhadoroh

Perjalanan Mengenal Kesempurnaan Islam

Sebelum mengenal makna Islam, setiap manusia punya dua kategori perjalanan hidup, baik lewat ilmu pengetahuan maupun secara hukum kitab, cara seperti ini menurut pemahaman Ulama terbagi menjadi dua bagian :

Dengan cara Bil Ahkam (Memegang hukum kitab seperti Al-Qur’an, Hadist dan kita Warosatil Ambiya) sebagai tuntunannya.
Dengan cara Biddhaukiyyah wabisuhbati Rijal (Lewat pemahaman dhaukiyah, menuju kebajikan atau menemani ahli-ahlinya Allah) dengan cara bertafakkur maupun mudawamah bidzikrillahi tathmainnal qulub atau kedua-duanya, Bil Ahkam dan Billah.

Bila sudah mengerti dengan pembedaran tadi, selanjutnya kita akan mengenal keagungan Allah SWT, lewat Kitabbullah maupun secara dhaukiyyah. Disini kami contohkan salah satunya dengan memahami sifat yang jauh sudah dujadikan oleh Allah, sebagai makna Tafakur Tajalli fil Af’al dan sifat, seperti adanya bumi, langit, tumbuhan, air dan seluruh sifat alamyang bisa kita lihat maupun kita rasakan keberadaannya seperti angin dan makhluk lainnya. Untuk bisa mencapai kesemuprnaan Islam, kita haruskan mejnaga tiga hal yaitu :

Taubat
Takwa
Ostiqomah

Makna Taubat. Dari kejelekan menuju kebaikan dan dari kebaikan menuju yang lebih baik, seperti, selalu memohon ampunan kepada Allah SWT, Atas segala dosa dan kelalaian yang pernah kita perbuat, juga selalu memberikan manfaat serta menjauhi segala laranganNya dan memanfaatkan waktu yang ada menuju jalan ketaqwaan (seperti sifat Rasulullah SAW). Juga seperti contoh yang diambil dari hikayat doa Nabiyullah Adam AS, sewaktu beliau dikeluarkan dari surga Majazi “Robbana dzolamna anfusana waillam tagfir lana watarhamna lanakunanna minal khosirin”. Do’a ini menceritakan “Walau Nabi Adam AS, tahu yang menjadi beliau diusir dari surga akibat rayuan syaitan terkutuk, namun dalam do’a tadi sama sekali tidak mencantumkan nama syaitan sebagai wasilahnya melainkan beliau menyalahkan dirinya sendiri “Dzolamna anfusana / dzolimku karena ulahku sendiri”.

Makna Takwa. Melaksanakan perintah Allah dan menjauhi larangan-Nya dengan cara menghilangkan rasa malas agar bisa mendekatkan diri kepada Allah. Juga menjadikan setiap hela nafas kita kalam maupun ucapan asma Illahiyyah sehingga dengan cara ini mulut kita selalu dijaga, emosi selalu terkontrol, pemahaman selalu diarahkan dalam kebajikan dan lain sebagainya.

Makna Istikomah. Menjaga keseimbangan amal dalam menjalankan makna hidup sebenarnya. Yang dimaksud disini adalah melaksanakan perintah Allah dan menjauhi larangan-Nya seperti, melestarikan makna sodakoh secara istiqomah, menjalankan pendekatan diri lewat dzikir maupun tafakkur, menata badan dan fikiran agar selalu bersih dari sifat yang kurang diridhoi oleh Allah dan lain sebagainya. Dengan kata lain, Istiqomah kita tetap terjaga dengan terus bertaqwa kepadaNya.

Mengenal Ihsan Secara Sempurna

Ihsan bisa sempurna melalui (3) bagian :

Muroqobah / Muhadhoroh (sepertinya Allah selalu hadir dihadapan kita)
Musyahadah (pandangan kita selalu tertuju kepada Allah)
Ma’rifat (memahami Allah dan ciptaannya secara adab)

Yang dimaksud “Muroqobah, (dimana kita ditempatkan, disitu pula bisa merasakan seolah hadirnya Allah SWT”. Dan dengan kerushukhan hati ini akan menjaga dari segala yang dilarang dan meningkatkan makna yakin sehingga menjadikan tingkah laku kita tetap terjaga. Muroqobah ini termasuk “Mim Babi Wahua Ma’akum Ainama Kuntum”.

Yang dimaksud dengan arti ”Musyahadah, (dengan seringnya kita mendekatkan diri kita kepada Allah SWT, niscaya keyakinan yang kita miliki terus bertambah) dan cara seperti ini menjadikan apapun yang kita rasakan, pada akhirnya akan kembali lagi kepada Allah “Mim Babi, Allahu Nurussamawati Wal-Ard” atau “Ainama Tuwallu Fatsamma Wajhullah”

Sedangkan makna ”Ma’rifat” (orang-orang yang memahami tentang adabnya Allah dan Rosulnya). Disini termasuk mereka yang bisa memahami makna “Asyhadu Anla Ilaha Illallah, Wa asyhadu anna Muhammadar Rosulullah” dan dalam maqom ini tidak bisa dinilai sejauh mana adab kita kecuali dengan panduan Mursyid tau dengan keluasan Imu yang kita miliki secara dhaukiyatul kamil / pemahaman yan mampu menyelami Imu bangsa ke Tuhanan.

Sebagai suatu kewaspadaan dalam menjalankan arti hidup, Islam, Imam dan Ihsan, Bisa hancur sampai keakarnya akibat “Murtad dan Musyrik”. Sedangkan Islam, bisa lemah akibat perbuatan maksiat. Iman, bisa lemah akibat tidak bisa menjaga keyakinan. Dan Ihsan, bisa lemah akibat tidak bisa menjaga pandangan (selalu memandang makhluk lain).

Kuatnya Islam terlahir akibat “Muhafadoh” / menjaga tingkah laku dan ucapan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar